Minggu, 28 Desember 2014

Artikel Renyah Tentang Haji

HAJI, RUKUN ISLAMKAH?
Oleh : Ahmad Zenal Abidin, S.Ag

Tradisi di Indonesia, kalau pulang mengerjakan Rukun Islam yang ke-5 biasa dipanggil Pa Haji atau Bu Hajjah. Berbeda sekali dengan Negara tetangga kita, Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, atau Philipina, belum pernah dengar ada orang di Negara tetangga yang dipanggil Pa Haji atau Bu Hajjah. Ini yang menggelitik saya untuk membuat tulisan ini.
Rukun adalah tata urutan kegiatan ibadah yang tidak boleh ditinggalkan. Artinya kalau kita beribadah kemudian ketinggalan salah satu rukunnya, maka tidak sah-lah perbuatan (ibadah) itu. Sebagai contoh jika seseorang sholat kemudian dia tidak membaca Al-Fatihah dalam sholatnya, maka sholatnya tidak sah. Jika seseorang wudlu kemudian dia tidak membasuh wajahnya, maka tidak sah wudlunya. Jika seseorang menunaikan Ibadah Haji kemudian dia tidak Wukuf di Arofah, maka Hajinya tidak sah dan tidak bisa diganti dengan dam. Kenapa demikian? Karena, membaca Al-Fatihah dalam sholat termasuk Rukun Sholat, demikian juga membasuh wajah (muka) dalam wudlu termasuk Rukun Wudlu, begitu juga dengan Wukuf disamping merupakan rukun Haji menjadi pembeda dengan Umroh.
Bagaimana dengan Rukun Islam? Apakah apabila seseorang tidak melaksanakan salah satu rukunnya tidak sah ke-Islam-an seseorang. Secara umum demikian ketentuan mengenai rukun. Bagaimana dengan rukun Islam yang ke-5? Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mampu melaksanakan Ibadah Haji.
Dalam QS. Ali Imron ayat 97, dijelaskan bahwa menunaikan Ibadah Haji ke Baitulloh hukumnya wajib bagi yang mampu dalam perjalanannya. Mampu dalam pengertian secara fisik, psikis, materi dan kondisional. Jadi, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu secara fisik, psikis, materi dan kondisional hukumnya wajib, sementara bagi yang belum memenuhi syarat mampu seperti dijelaskan terdahulu belum terkena kewajiban. Begitulah yang saya fahami dari Qs. Ali Imron ayat 97.
Meski demikian, menunaikan ibadah haji tetap merupakan Rukun Islam yang kedudukannya setara dengan rukun-rukun lainnya. Kita tidak dapat membedakan bahwa Rukun Islam yang ke-5 itu sangat ekslusif, sehingga orang yang telah menunaikannya mendapatkan gelar Haji atau Hajjah. Sebab ibadah haji bukan pendidikan formal seperti UIN, UPI, UNPAD atau ITB atau sekolah tinggi lainnya yang apabila telah selesai, mendapatkan gelar sarjana baik di depan nama maupun di belakang nama.
Sebut saja nama saya Baden, dari kecil saya sudah dibiasakan oleh orang tua untuk melaksanakan sholat lima waktu yang merupakan rukun Islam yang ke-2, tapi belum pernah ada sampai saat ini orang memanggil saya Sholat Baden, berbeda dengan orang yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke-5, mereka umumnya dipanggil Haji atau Hajjah, padahal kedudukannya sama-sama melaksanakan Rukun Islam. Maka timbul pertanyaan mengapa orang yang melaksanakan rukun Islam yang ke-5, di Indonesia dipanggil Haji atau Hajjah? Apakah dalam Ibadah Haji ada unsur politis? Ataukah ibadah haji, ibadah yang tidak dapat menghindarkan sifat riya? Mungkinkah ini (gelar Haji/Hajjah) merupakan penggiringan tradisi kepada syari’at.
Dalam benak saya pernah tercetus pertanyaan sekaligus pernyataan,  mengapa kalau orang yang mau mengenakan gelar Haji/Hajjah setelah melaksanakan rukun Islam yang ke-5, tidak sekalian menempelkan gelar lainnya dari Rukun Islam. Contoh : S.S.Z.S.H. Baden. Keterangan gelar sebagai berikut : S pertama untuk Syahadat, S yang ke-2 untuk Sholat, Z untuk gelar suka mengeluarkan Zakat, S berikutnya untuk Shoum di bulan Romadlon dan H untuk menunaikan Rukun Islam yang ke-5.
Akhhirnya kembali kepada pribadi dan hati masing-masing, apa yang menjadi motif kita untuk menempelkan gelar H. setelah kita melaksanakan Ibadah haji. Karena haji bukanlah sekolah, haji adalah Rukun Islam, Haji adalah ibadah, haji adalah panggilan Alloh.
Ada kisah nyata yang berkaitan dengan Rukun Islam yang ke-5 ini, di sebuah kampung daerah Cianjur selatan ada perilaku sosial yang unik. Sebagian besar masyarakatnya telah menunaikan ibadah haji, sehingga akan merasa malu jika belum menunaikan rukun Islam yang ke-5 itu. Mereka akan melakukan berbagai cara (halal?) untuk dapat menunaikan ibadah haji, ada yang menjual sawah dan ladangnya, ada yang menjual hewan peliharaannya, menjual sumber usahanya, ada yang menyiasati dengan menjadi Tenaga Kerja untuk Arab Saudi, ada yang menggunakan Visa Umroh, Visa Turis, yang penting bagi mereka berada dulu di Negara Saudi Arabia sampai Bulan Haji tiba.
Yang lucu, sebut saja Pa Abid (nama samaran), dia mau berangkat ke Sawahnya yang tinggal sepetak karena sebagian besar sawahnya sudah dijual untuk Ziarah (begitu mereka menyebut untuk menunaikan Ibadah Haji). Tegur sapa, sudah menjadi kebiasaan masyarakat tersebut. “Mau ke Sawah Pa Abid?” salah seorang penduduk kampung bertanya. Tapi Pa Abid terus saja berjalan seolah tidak mendengar sapaan tersebut, padahal jaraknya tidak jauh. “Pa Abid ke sawah ya?” suaranya dikeraskan karena khawatir sapaan tadi kurang terdengar. Pa Abid hanya menegok sesaat dan tidak berkata apa-apa. Kemudian tetanggga jauh tadi bertanya dengan nada pelan “Pa Haji mau ke sawah ya?” Pa Abid pun baru menjawab dengan sigap “iya…iya saya mau ke sawah nih”.
Setelah sekian lama diselidiki, akhirnya bocor juga kenapa Pa Abid ketika dua kali ditanya tidak menjawab. “Saya sudah capek-capek berangkat haji, menjual sawah, mengeluarkan biaya banyak, masa saya tidak di panggil Pa Haji” demikian ungkapnya kepada tetangga lainnya.
Pertanyaan terakhir, apa motif kita menunaikan Ibadah Haji? Jawabannya ada pada hati masing-masing pembaca. Semoga tulisan ini dapat merefleksikan amalan ibadah kita selama ini.

Penulis adalah Guru PAI di SMP Negeri 2 Cianjur

Ketua MGMP PAI SMP Kabupaten Cianjur Periode 2008 - 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar