HAJI, RUKUN ISLAMKAH?
Oleh : Ahmad
Zenal Abidin, S.Ag
Tradisi di
Indonesia, kalau pulang mengerjakan Rukun Islam yang ke-5 biasa dipanggil Pa
Haji atau Bu Hajjah. Berbeda sekali dengan Negara tetangga kita, Singapura,
Malaysia, Brunai Darussalam, atau Philipina, belum pernah dengar ada orang di
Negara tetangga yang dipanggil Pa Haji atau Bu Hajjah. Ini yang menggelitik
saya untuk membuat tulisan ini.
Rukun adalah tata urutan kegiatan ibadah yang tidak boleh
ditinggalkan. Artinya kalau kita beribadah kemudian ketinggalan salah satu
rukunnya, maka tidak sah-lah perbuatan (ibadah) itu. Sebagai contoh jika
seseorang sholat kemudian dia tidak membaca Al-Fatihah dalam sholatnya, maka
sholatnya tidak sah. Jika seseorang wudlu kemudian dia tidak membasuh wajahnya,
maka tidak sah wudlunya. Jika seseorang menunaikan Ibadah Haji kemudian dia
tidak Wukuf di Arofah, maka Hajinya tidak sah dan tidak bisa diganti dengan
dam. Kenapa demikian? Karena, membaca Al-Fatihah dalam sholat termasuk Rukun Sholat, demikian juga membasuh
wajah (muka) dalam wudlu termasuk Rukun
Wudlu, begitu juga dengan Wukuf disamping merupakan rukun Haji menjadi
pembeda dengan Umroh.
Bagaimana dengan Rukun Islam? Apakah apabila seseorang tidak
melaksanakan salah satu rukunnya tidak
sah ke-Islam-an seseorang. Secara umum demikian ketentuan mengenai rukun.
Bagaimana dengan rukun Islam yang ke-5? Hanya sebagian kecil masyarakat
Indonesia yang mampu melaksanakan
Ibadah Haji.
Dalam QS. Ali Imron ayat 97, dijelaskan bahwa menunaikan
Ibadah Haji ke Baitulloh hukumnya wajib bagi yang mampu dalam perjalanannya. Mampu dalam pengertian secara fisik,
psikis, materi dan kondisional. Jadi, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu
secara fisik, psikis, materi dan kondisional hukumnya wajib, sementara bagi
yang belum memenuhi syarat mampu seperti dijelaskan terdahulu belum terkena
kewajiban. Begitulah yang saya fahami dari Qs. Ali Imron ayat 97.
Meski demikian, menunaikan ibadah haji tetap merupakan Rukun
Islam yang kedudukannya setara dengan rukun-rukun lainnya. Kita tidak dapat
membedakan bahwa Rukun Islam yang ke-5 itu sangat ekslusif, sehingga orang yang
telah menunaikannya mendapatkan gelar Haji atau Hajjah. Sebab ibadah haji bukan
pendidikan formal seperti UIN, UPI, UNPAD atau ITB atau sekolah tinggi lainnya yang
apabila telah selesai, mendapatkan gelar sarjana baik di depan nama maupun di
belakang nama.
Sebut saja nama saya Baden, dari kecil saya sudah dibiasakan
oleh orang tua untuk melaksanakan sholat lima waktu yang merupakan rukun Islam
yang ke-2, tapi belum pernah ada sampai saat ini orang memanggil saya Sholat
Baden, berbeda dengan orang yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke-5,
mereka umumnya dipanggil Haji atau Hajjah, padahal kedudukannya sama-sama
melaksanakan Rukun Islam. Maka timbul pertanyaan mengapa orang yang
melaksanakan rukun Islam yang ke-5, di Indonesia dipanggil Haji atau Hajjah?
Apakah dalam Ibadah Haji ada unsur politis? Ataukah ibadah haji, ibadah yang
tidak dapat menghindarkan sifat riya? Mungkinkah ini (gelar Haji/Hajjah)
merupakan penggiringan tradisi kepada syari’at.
Dalam benak saya pernah tercetus pertanyaan sekaligus
pernyataan, mengapa kalau orang yang mau
mengenakan gelar Haji/Hajjah setelah melaksanakan rukun Islam yang ke-5, tidak
sekalian menempelkan gelar lainnya dari Rukun Islam. Contoh : S.S.Z.S.H. Baden. Keterangan
gelar sebagai berikut : S pertama untuk Syahadat, S
yang ke-2 untuk Sholat, Z untuk gelar suka mengeluarkan Zakat, S
berikutnya untuk Shoum di bulan Romadlon dan H untuk menunaikan
Rukun Islam yang ke-5.
Akhhirnya kembali kepada pribadi dan hati masing-masing, apa
yang menjadi motif kita untuk menempelkan gelar H. setelah kita melaksanakan
Ibadah haji. Karena haji bukanlah sekolah, haji adalah Rukun Islam, Haji adalah
ibadah, haji adalah panggilan Alloh.
Ada kisah nyata yang berkaitan dengan Rukun Islam yang ke-5
ini, di sebuah kampung daerah Cianjur selatan ada perilaku sosial yang unik.
Sebagian besar masyarakatnya telah menunaikan ibadah haji, sehingga akan merasa
malu jika belum menunaikan rukun Islam yang ke-5 itu. Mereka akan melakukan
berbagai cara (halal?) untuk dapat menunaikan ibadah haji, ada yang menjual
sawah dan ladangnya, ada yang menjual hewan peliharaannya, menjual sumber
usahanya, ada yang menyiasati dengan menjadi Tenaga Kerja untuk Arab Saudi, ada
yang menggunakan Visa Umroh, Visa Turis, yang penting bagi mereka berada dulu
di Negara Saudi Arabia sampai Bulan Haji tiba.
Yang lucu, sebut saja Pa Abid (nama samaran), dia mau
berangkat ke Sawahnya yang tinggal sepetak karena sebagian besar sawahnya sudah
dijual untuk Ziarah (begitu mereka menyebut untuk menunaikan Ibadah Haji).
Tegur sapa, sudah menjadi kebiasaan masyarakat tersebut. “Mau ke Sawah Pa
Abid?” salah seorang penduduk kampung bertanya. Tapi Pa Abid terus saja
berjalan seolah tidak mendengar sapaan tersebut, padahal jaraknya tidak jauh.
“Pa Abid ke sawah ya?” suaranya dikeraskan karena khawatir sapaan tadi kurang
terdengar. Pa Abid hanya menegok sesaat dan tidak berkata apa-apa. Kemudian
tetanggga jauh tadi bertanya dengan nada pelan “Pa Haji mau ke sawah ya?” Pa
Abid pun baru menjawab dengan sigap “iya…iya saya mau ke sawah nih”.
Setelah sekian lama diselidiki, akhirnya bocor juga kenapa Pa
Abid ketika dua kali ditanya tidak menjawab. “Saya sudah capek-capek berangkat
haji, menjual sawah, mengeluarkan biaya banyak, masa saya tidak di panggil Pa
Haji” demikian ungkapnya kepada tetangga lainnya.
Pertanyaan terakhir, apa motif kita menunaikan Ibadah Haji?
Jawabannya ada pada hati masing-masing pembaca. Semoga tulisan ini dapat
merefleksikan amalan ibadah kita selama ini.
Penulis adalah Guru PAI di SMP
Negeri 2 Cianjur
Ketua MGMP PAI SMP Kabupaten
Cianjur Periode 2008 - 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar